P. Cornel Fallo, SVD
STP Dian Mandala Gunungsitoli, Keuskupan Sibolga
Lima
pilar pelayanan Gereja merupakan fondasi kokoh yang menyingkapkan tugas dan
tanggungjawab serta eksistensi pelayanan Gereja di dunia (Bdk. GS art 1, 43). Gereja sebagai umat Allah berkat sakramen
pembaptisan menyadari diri memiliki tanggungjawab menunaikan tugas dan
panggilan dalam lima pilar pelayanan Gereja di dunia (Bdk. LG art 31). Sebab,
lima pilar pelayanan Gereja tersebut merupakan implementasi dari Tri tugas
Yesus Kristus sendiri.[1] Lima
pilar pelayanan Gerejani yang dimaksudkan ialah Kerygma, Diakonia, Koinonia, Leitourgia dan Martyria (Bdk. LG art. 25-27). Kelima pilar pelayanan Gereja ini
akan dibahas dalam uraian berikut ini.
2.1. Kerygma (Pewartaan)
“Kerygma” berasal dari bahasa Yunani yang
berarti karya pewartaan Kabar Gembira. Dalam
Kitab Suci Perjanjian Baru ditemukan dua kata kerja Yunani yang berhubungan
dengan kerygma atau pewartaan ini
yakni “kerussein” (Ibr 5:12) dan “didaskein”
(Ibr 6:1). Dalam perspektif biblis ini “kerussein”
berarti mewartakan secara meriah dan resmi Kabar Gembira tentang kedatangan
Kerajaan Allah yang dilakukan oleh para Rasul serta kesaksian mereka tentang
ajaran dan karya Yesus Kristus. Kata kerja “kerussein” menunjuk pada aktivitas pewartaan yang
ditujukan kepada orang yang belum mengenal atau belum percaya kepada Yesus
Kristus. Sedangkan kata kerja “didaskein”
berarti mengajar atau memberikan pelajaran kepada orang yang telah beriman
dalam rangka memperkembangkan dan memekarkan iman yang sudah mulai tumbuh.
Dengan
demikian “didaskein” merupakan
aktivitas pewartaan yang bersifat lanjutan dan diberikan kepada orang yang
telah mengenal dan percaya kepada Yesus Kristus, agar iman umat semakin berkembang
ke arah kedewasaan.[2] Dan
memang sesungguhnya arti asli dari kata kerygma
adalah bahwa karya pewartaan itu berkaitan erat dengan mulut atau kata dalam
menyampaikan Sabda Tuhan kepada telinga atau pendengaran yang menggerakkan hati
manusia untuk berbuat ke arah
pertobatan. Melalui tindakan itu kita
diingatkan oleh pengajaran Santo Paulus
bahwa iman itu tumbuh lewat pendengaran. Keselamatan itu diperoleh berkat iman
kepada Yesus Kristus (bdk. 1 Tim 2:4).
Dalam
hubungan dengan proses penelitian ini maka pemahaman didaskein-lah yang paling tepat untuk ditindaklanjuti. Landasan
kokoh tentang tindakan pewartaan ini adalah Tuhan Yesus sendiri. Metodologi
yang digunakan Yesus dalam melaksanakan tugas pewartaan tersebut adalah dengan membangun
jejaring dan kepercayaan. Untuk itu, Yesus memanggil para Rasul dengan melibatkan
mereka dalam melaksanakan tugas pewartaan. Demikian juga umat beriman Kristiani
di mana semua diberi kepercayaan, dipanggil dan diutus Tuhan Yesus untuk
mengambil bagian dalam tugas pewartaan Kabar Gembira (bdk. LG art 35). Tuhan
Yesus mengutus kita semua dengan bersabda:
“Pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama
Bapa dan Putera dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang
telah Kuperintahkan kepadamu“ (Mat 28: 19-20).
Penekanan
utama dalam tugas pewartaan Gereja ini
bukan saja pewartaan verbal tetapi juga pewartaan melalui kesaksian hidup
sebagai bentuk pewartaan yang ampuh dan
sebagai daya dorong untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan yang nyata.[3]
Partisipasi tersebut dapat dilakukan dengan mengambil bagian melalui
tugas-tugas pelayanan Gerejani dalam kehidupan bersama umat di dalam kelompok basis.
Kelompok umat basis merupakan tempat persemaian benih pewartaan sabda Allah
sehingga Gereja tetap tumbuh, hidup dan berkembang.[4]
Senada dengan itu dokumen Dialog dan Pewartaan menegaskan bahwa pewartaan
adalah komunikasi pesan Injil, misteri keselamatan yang dilaksanakan Allah bagi
semua orang dalam Yesus Kristus berkat kuasa Roh Kudus. Pewartaan merupakan
suatu ajakan untuk menyerahkan diri dalam iman kepada Yesus Kristus dan melalui
pembaptisan masuk ke dalam persekutuan kaum beriman yang adalah Gereja.
Pewartaan biasanya terarah pada katekese yang bertujuan untuk memperdalam iman
kepada Yesus Kristus. Pewartaan adalah dasar, pusat dan sekaligus puncak dari
evangelisasi (DP 10). Dialog Pewartaan mencantumkan sejumlah kualitas yang
justru mencirikan karya pewartaan itu sendiri. Kualitas-kualitas pewartaan itu
adalah pertama; pewartaan yang meyakinkan,
karena tugas mewartakan itu bukan berhubungan dengan perkataan manusia melainkan kesaksian tentang Firman Allah dan
kehadiran Roh yang berkesinambungan di semua tempat dan dalam segala waktu. Kedua;
pewartaan yang setia kepada amanat
yang disampaikan Gereja yakni “yang secara mendalam bersifat Gerejawi”.
Pewartaan itu mesti rendah hati yakni
bahwa orang-orang yang mewartakan hanyalah “sarana” yang sempurna di dalam
tangan Allah. Ketiga; penuh hormat dan dialogal yakni dengan
kesadaran bahwa Allah sudah lebih dahulu berkarya sebelum kedatangan para
misionaris (pewarta). Akhirnya pewartaan itu semestinya terinkulturasi oleh
sikap hormat yang ada lebih dahulu dalam diri pewarta terhadap konteks budaya
dan agama di mana Injil itu akan diajarkan.[5]
2.2. Diakonia (Pelayanan)
Diakonia berarti pelayanan. Terminologi
diakonia ini berasal dari kata bahasa Yunani yakni dari kata kerja “diakon” yang berarti melayani. Tuhan
Yesus sendiri amat pandai memilih kata yang tepat untuk menggambarkan
eksistensi terdalam dari kehadiranNya di dunia ini bukan untuk dilayani melainkan
untuk melayani (bdk. Mat 20:28). Dari sebab itu, Santo Paulus menganggap
pekerjaannya sebagai suatu “diakonia”
artinya pelayanan dan dirinya sebagai “diakonos”
artinya pelayan bagi Kristus (bdk. 2 Kor 11:23) serta bagi umat Kristus (bdk. Kol
1:25).[6]
Dari
pemahaman di atas dapatlah kita mengerti mengapa Tuhan Yesus menegaskan bahwa
hakekat dari pekerjaan melayani harus melekat dalam diri mereka yang
dikhususkan sebagai pemimpin. Para rasul termasuk orang-orang yang dipilih dan
dikhususkan Yesus untuk menjadi pemimpin umat. Spiritualitas dasar pemimpin umat menurut Yesus harus dicirikan dengan melayani bukan
berkuasa dan memerintah. Para rasul adalah pemimpin umat yang sekaligus “diakonos” atau pelayan (bdk. Luk
22:25-27). Dengan kata lain para rasul adalah pemimpin yang melayani umat
Allah. Tugas pelayanan para rasul dilanjutkan dalam pelayanan Gereja sebagai
salah satu pilar eksistensinya.
Tugas
pelayanan yang dilakukan oleh Gereja ini dilaksanakan dengan suka rela tanpa
menuntut. Tujuannya ialah agar Gereja tumbuh dan berkembang ke arah yang
semakin membebaskan dan menyelamatkan umat manusia. Santo Paulus dengan tepat
mengungkapkan landasan pelayanan Gereja pada pola kehidupan dan pelayanan Yesus
sendiri. Yesus dalam rupa Allah telah mengosongkan diriNya dan mengambil rupa
seorang diakonos atau doulos (hamba) (bdk. Filipi 2:5-7). Oleh
karena itu Gereja menggalakkan aktivitas pelayanan karena didorong oleh panggilan
untuk mencintai Tuhan dan sesama. Dasarnya adalah karena Yesus sendiri sudah
lebih dahulu melayani kita. Seluruh hidup Yesus selama 33 tahun ditandai oleh
jiwa melayani. Tujuan hidup Yesus bukan untuk mendapatkan pelayanan tetapi
memberikan pelayanan. Isi hidupNya bukan dilayani melainkan melayani. Seluruh
Kitab Perjanjian Baru tidak pernah menggambarkan Yesus sebagai manusia yang
mengandalkan kehormatan dan kuasa tetapi Tuhan yang melayani dan menghamba. Dia
adalah sang diakonos (pelayan) dan
bahkan doulos (hamba). Dengan
demikian Gereja terpanggil untuk melayani dan bukan untuk berkuasa. Panggilan
Gereja untuk mewujudnyatakan diakonia
sebagai suatu panggilan relasional agar saling menolong dalam kesetikawanan.
Suatu panggilan untuk memperjuangkan prinsip hidup memberi dan bukan mengambil
demi kepentingan, kepuasan dan kekenyangan pribadi.[7]
Dalam
perkembangan dan eksistensi Gereja dewasa ini, maka panggilan untuk
melaksanakan diakonia bukan hanya
menjadi tugas para pemimpin saja, melainkan juga dikembangkan di antara anggota
Gereja Perdana. Semangat diakonia itu terungkap dan terlaksana dalam
persaudaraan sejati yang dibangun di antara anggota umat. Hal itu amat jelas
terwujud dalam tindakan berkumpul, menyatukan diri dalam prinsip hidup bersama
yakni “segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama. Dan selalu dari antara
mereka yang menjual harta miliknya, lalu dibagi-bagikannya kepada semua orang
sesuai dengan keperluan masing-masing” (bdk. Kis 2:44-45; 4:32-37).
Dewasa
ini panggilan dan semangat untuk melaksanakan diakonia kemudian menjadi panggilan bagi semua umat beriman. Karena
praksis diakonia diarahkan demi pengabdian kepada kepentingan umat Allah. Maka
secara tidak langsung seluruh umat harus ikut mengambil bagian di dalam praksis
diakonia ini. Praksis diakonia harus
dijalankan oleh semua umat beriman Kristiani, mulai dari anak-anak, orang muda
Katolik (pelajar dan juga mahasiswa-mahasiswi STP Dian Mandala) serta orang
dewasa dan lanjut usia.
2.3. Koinonia (Paguyuban)
Koinonia adalah bahasa Yunani, berasal
dari kata “koin” yang berarti
mengambil bagian. Dalam perspektif biblis, koinonia
diartikan sebagai paguyuban atau persekutuan (bdk.
Kis. 2:41-42). Koinonia dapat diidentikan dengan sebuah paguyuban dalam
melaksanakan sabda Tuhan. Suasana hidup dalam persekutuan tersebut ialah
persekutuan hidup yang guyub dalam arti hidup rukun dan damai. Dan suasana
hidup seperti itulah yang digambarkan oleh Tuhan Yesus dengan bersabda:
“Saudara-saudaraKu ialah mereka yang mendengarkan Firman Allah dan
melaksanakannya” (Luk 8:21). Oleh karena
itu dokumen Konsili Vatikan II pertama-tama menggambarkan Gereja bukan sebagai
suatu institusi duniawi melainkan sebagai suatu persekutuan ataupun paguyuban umat
beriman yang menerima dan meneruskan cahaya Kristus yang diwujudkan dalam warna
dasar perbuatan atau amal yang baik dan berguna bagi sesama. Gereja sebagai
sakramen yakni tanda dan sarana persatuan mesra dengan Allah dan dalam kesatuan
dengan seluruh umat manusia dihantar kepada segala kebenaran, dipersatukan
dalam persekutuan serta pelayanan, dilengkapi dan dibimbing dengan aneka
karunia hierarkis dan karismatis serta disemarakkan dengan buah-buahNya.
Demikianlah seluruh Gereja tampak sebagai “Umat yang disatukan berdasarkan kesatuan
Bapa dan Putera dan Roh Kudus (LG art 4)”. Selanjutnya Gereja mendapat arti dalam
diri umat beriman Kristiani itu sendiri, di mana berkat sakramen Baptis telah
menjadi anggota Tubuh Kristus terhimpun dalam persekutuan atau paguyuban
menjadi satu umat Allah. Dengan cara mereka sendiri, mereka ikut mengemban tri tugas
Kristus di dunia ini sebagai imam, nabi dan rajawi Kristus (LG art 31). Dari gambaran ini dapatlah dimengerti bahwa semua
umat Kristiani adalah umat Allah atau Gereja itu sendiri. Oleh karena itu
setiap anggota dituntut untuk berpartisipasi dalam persekutuan atau paguyuban
sebagai bagian dari hidupnya sendiri. Sebab,
dengan demikian Gereja akan tetap hidup,
terpikat dan berkembang dalam dunia
hingga keabadian.
Koinonia memiliki konotasi sebagai milik
bersama atau bersolidaritas. Dalam terang Sabda Tuhan syarat untuk membangun
paguyuban Kristiani adalah orang-orang yang suka mendengarkan Sabda Allah dan
berusaha melaksanakannya. Pelaksanaan Sabda Allah dapat berupa aktivitas pewartaan, liturgi, pelayanan, kesaksian dan berjuang
untuk hidup dalam semangat rukun-guyub dan aktif dalam melakukan solidaritas.
Hal ini dapat digambarkan secara gamblang dalam hidup seorang katekis atau
seorang guru agama Katolik yang bertugas untuk melaksanakan katekese atau
mengajar agama di stasi atau sekolah. Setiap
hari Minggu berpartisipasi aktif dalam perayaan Ekaristi, bersedia membantu
pelayanan kepada orang sakit dan sebagai warga setempat iapun wajib membangun
hidup bersama yang rukun dan guyub.[8]
2.4. Leitourgia
(Liturgi)
Liturgi
berasal dari kata bahasa Yunani yakni dari kata kerja “Leitourgian” (leos artinya
rakyat dan ergon artinya kerja) yang
berarti bekerja untuk kepentingan umum, kerja bakti atau gotong royong. Orang yang
melakukan pekerjaan itu disebut “Leitourgos”. Dan pekerjaan luhur itu
disebut “Leitourgia”. Dari pemahaman ini sekarang kita menggunakan kata
“Liturgi” untuk Ekaristi dan ibadah. Dalam konteks pilar pelayanan Gereja liturgi merupakan upaya yang sangat membantu
kaum beriman untuk penghayatan iman demi mengungkapkan misteri Kristus serta
hakikat asli pelayanan Gereja yang sejati.[9]
Dengan demikian maka Liturgi itu sungguh mengagumkan, menguatkan tenaga umat
beriman untuk mewartakan Kristus dan dengan sendirinya terpanggil mewartakannya
juga kepada mereka yang berada di luar Gereja. Di pihak lain liturgi mendorong
umat beriman supaya sesudah dipuaskan dengan sakramen-sakramen Paskah menjadi
sehati dan sejiwa dalam kasih. Jadi Liturgi terutama Ekaristi, bagaikan sumber
yang mengalirkan rahmat kepada umat beriman dan menjadi puncak kehidupan Gereja
dalam seluruh aktivitas umat menuju kehidupan yang sejati.[10]
Dari
pemahaman di atas maka sudah sepantasnya semua umat beriman Kristiani terdorong
untuk berpartisipasi mengambil bagian dalam pelayanan liturgi Gereja demi rahmat dan berkat untuk kehidupan sekarang
dan yang akan datang. Konsili suci menasihati agar umat beriman tidak saja
berpartisipasi, tetapi lebih dari itu menghadiri liturgi suci dengan
sikap-sikap batin yang serasi. Hendaknya hati disesuaikan dengan apa yang mereka
ucapkan dan bekerja sama dengan rahmat surgawi agar tidak sia-sia menerimanya.
Keikutsertaan sepenuhnya harus berawal dari kesadaran mendalam dan keaktifan
yang sadar dalam perayaan-perayaan liturgi yang dirayakan tersebut. Untuk itu
dibutuhkan bimbingan dan arahan dari petugas pastoral (pemimpin paroki)
sehingga dalam kegiatan liturgi tersebut tidak hanya dipatuhi hukum-hukum untuk
merayakannya secara sah dan halal, melainkan supaya umat beriman berpartisipasi
merayakannya dengan kesadaran yang optimal, keaktifan yang gembira dan penuh
makna bagi kehidupan jiwa dan raga.[11]
Perjamuan
Ekaristi secara lahir memang kelihatan dari kerja bakti atau liturgi. Di dalam
tata liturgi itulah kita merayakan Perjamuan Ekaristi Kudus. Di dalamnya umat
beriman mengambil bagian dari hidup Kristus yang mulia. Dalam Perjamuan
Ekaristi umat beriman disatukan dengan Kristus secara sakramental. Kristus juga
menyatukan umat beriman satu sama lainnya di dalam perayaan kudus tersebut.
Melalui dan dalam perayaan Ekaristi itulah kita menerima Tubuh dan Darah
Kristus sendiri yang berenergi Ilahi untuk mendorong teguhnya persatuan dengan
Kristus sendiri dan persatuan kita satu sama lain.
Dalam
dan melalui peristiwa penerimaan Tubuh dan Darah Kristus justru Kristus sendiri
membagikan Tubuh-Nya kepada setiap umat beriman yang hadir. Buah dari persatuan umat beriman dengan Yesus
Kristus dalam perayaan suci itu mendorong umat beriman untuk menghadirkan
Kristus kembali di tengah kehidupan sehari-hari dalam dan melalui
perbuatan-perbuatan baik seperti rela berkorban dalam cinta kasih melalui karya
pelayanan kepada sesama. Jadi secara spiritual kita didorong untuk membagikan
roti diri kehidupan kita sendiri kepada sesama. Dengan demikian umat beriman
yang telah bersatu dengan Kristus justeru selalu dibaharui untuk melakukan
karya-karya Kristus sendiri. Karena itu Yesus sendiri mengundang umat beriman
untuk selalu mengulang kembali peristiwa mulia itu; “Lakukan ini sebagai peringatan akan Daku” (1 Kor 11:24-26).
Peringatan dalam bahasa Yunani adalah Anamnesis
yakni menghadirkan misteri wafat dan kebangkitan Kristus. Sebab justru di dalam
Perayaan Ekaristi tersebut Yesus sungguh hadir dalam SabdaNya dan Tubuh-DarahNya
yang dibagikan sebagai santapan kehidupan kekal.
Paus
Pius XII dan Paus Yohanes Paulus II sangat mengagumi dan menghargai Ekaristi.
Hal itu dinyatakan dengan mengeluarkan
ensiklik yang mengajarkan bagaimana Ekaristi suci dimaknai dalam kehidupan umat
Kristiani. Paus Yohanes Paulus II dalam ensikliknya Ecclesia De Eucharistia menegaskan bahwa Ekaristi ditampilkan
sebagai puncak segala sakramen dalam penyempurnaan persekutuan kita dengan
Allah Bapa, oleh penyatuan diri kepada putera tunggalNya, lewat karya Roh Kudus.
Oleh karena itu maka tak seorangpun diizinkan meremehkan misteri yang
dipercayakan ke tangan kita. Misteri ini terlalu agung bagi siapapun untuk
merasa bebas memperlakukannya secara ringan dan dengan mengabaikan kesucian
serta universalitasnya.[12]
2.5. Martyria
(Kesaksian)
Martyria berasal dari kata bahasa
Yunani yakni “marturion” yang artinya
kesaksian. Saksi sering diartikan sebagai orang yang melihat atau mengetahui
suatu kejadian. Makna saksi merujuk kepada pribadi seseorang yang mengetahui
atau mengalami suatu peristiwa dan mampu memberikan keterangan yang benar.
Yesus adalah saksi yang memberikan “berita” tentang rencana Allah Bapa untuk menyelamatkan
manusia. Dia-lah saksi yang setia dan benar (Why 3:14). Maka di depan Pilatus,
Yesus mengakui bahwa Dia-lah Raja, namun kerajaan-Nya bukan dari dunia ini. Dia
lahir dan datang ke dalam dunia, untuk memberikan kesaksian tentang apa yang
dilihat dan didengarNya di hadirat BapaNya (Yoh 3:32). Para Rasul dipanggil Yesus untuk menjadi
saksiNya mulai dari Yerusalem, Yudea dan Samaria bahkan sampai ke ujung bumi
(Kis 1:8). Tetapi menjadi saksi Kristus bukan tanpa resiko. Bahkan Yesus
sendiri telah menjadi martir atau saksi hidup karena melaksanakan kehendak
Allah Bapa untuk membebaskan dan menebus umat manusia.
Dalam
perkembangan sejarah Gereja Katolik kita menemukan banyak orang telah merelakan hidupnya untuk
mati sebagai martir demi mempertahankan imannya akan ajaran dan kesaksian hidup
Yesus Kristus karena teladan hidup Yesus itu sendiri. Para martir bersaksi
dengan caranya masing-masing untuk menyuburkan kehidupan Gereja hingga
sekarang. Konsili Vatikan II menegaskan bahwa Gereja dipanggil untuk memberikan
kesaksian kepada seluruh dunia, mewartakan Injil kepada semua orang. Dan
situasi zaman sekarang lebih mendesak Gereja untuk memberikan kesaksian secara profesional
melalui kehadiran dalam fungsi sebagai garam dan terang dunia agar memanggil
dan membaharui semua orang masuk ke dalam satu keluarga umat Allah. Gereja hadir bagi semua orang dan bangsa
lengkap dengan tantangan realitanya maka melalui teladan hidup (kesaksian
hidup), maupun pewartaannya, dan dengan sakramen-sakramen serta daya-daya rahmat
surgawi, Tuhan menghantarkan semua orang
dan bangsa kepada iman, kebebasan dan damai Kristus (Bdk. LG art. 1). Oleh
karena itu kesaksian Gereja atau umat Allah hendaknya berbuah dan berhasil
ketika mereka menggabungkan diri sebagai anggota masyarakat di lingkungannya
dengan sikap penghargaan dan cinta kasih, ikut serta dalam kehidupan budaya dan
sosial melalui pelbagai kegiatan (AG art 1). Point kesaksian yang hendak
dibidik adalah agar anggota
masyarakat dihantar kepada kerinduan
akan kebenaran dan cinta kasih yang diwahyukan oleh Allah. Hendaknya seperti
Kristus yang berkeliling sambil berbuat baik (bdk. Mat 9:35) demikian juga
Gereja membangun relasi dengan semua orang, khususnya dengan mereka yang miskin
dan tertimpa kemalangan dan dengan sukarela mengorbankan diri untuk mereka (bdk.
2 Kor 12:15). Hendaknya Gereja – umat beriman, juga memberikan kesaksian dengan
membaktikan diri secara tepat dalam bidang-bidang kemasyarakatan dan secara
istimewa bagi pendidikan anak-anak dan kaum muda untuk memerangi kebodohan dan
menciptakan kondisi hidup yang lebih baik.
Dalam semua itu, haruslah dicamkan bahwa Gereja tidak bermaksud
mencampuri urusan pemerintahan tetapi memberikan kesaksian yang benar tentang
Kristus dan berkarya demi keselamatan sesama manusia.[13] Akhirnya cermatilah dengan hati bersih dan pikiran
jernih serta belajar dari kesaksian hidup para martir bahwa pola kesaksian
hidup kita dalam arus globalisasi dunia zaman ini selalu disertai dengan salib yang harus dipikul. Tetapi siapa yang
bertahan dia akan menang (bdk. Lukas 21:18-19).
Kita
semua, umat beriman Kristiani yang telah dibaptis dipanggil menjadi saksi-saksi Kristus. Jadi
ternyata menjadi saksi Tuhan bukan hanya milik hirarki. Jika kita membaca riwayat hidup para kudus,
kebanyakan dari mereka adalah para awam yang berani memberikan kesaksian untuk
mempertahankan imannya bahkan dengan resiko kematian. Kita ambil contoh
kesaksian Santa Monika yang berhadapan dengan suami dan puteranya yang kafir.
Kesaksiannya akhirnya dijawab Tuhan dengan pembaptisan suami dan anaknya
menjadi Uskup terkenal. Santa Agnes yang setia kepada Kristus justru berhadapan
dengan pemimpin kafir yang menjatuhkan tuduhan karena menolak menyembah berhala.
Akhirnya berkat kesaksiannya, Santa Agnes yang setia kepada Kristus harus
dihukum mati.
Boleh
dikatakan bahwa baru pada tahun 1965 Gereja memikirkan secara sistematis dengan
mengeluarkan dekrit tentang Kerasulan Awam.
Namun sebelum itu terjadi di banyak tempat dan lingkup umat tertentu
bahwa Gereja itu diidentikan dengan Uskup dan Pastor. Artinya yang memberikan
kesaksian hanyalah kaum berjubah. Padahal Gereja telah menyadari bahwa kita
semua termasuk para awam memperoleh tugas dan hak atas kerasulan dari persatuan
dengan Kristus. Oleh sakramen pembaptisan mereka bagai dicangkokkan ke dalam
Tubuh Mistik Kristus dan dikukuhkan oleh Roh Kudus dalam Sakramen Krisma atau Penguatan.[14]
[1]Konferensi
Wali Gereja Indonesia. Buku Iman Katolik - Buku Informasi Dan Referensi, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 382.
[2]Ladislao
Csonka. Menyusuri Sejarah Pewartaan
Gereja, (Judul asli: Storia Della Catechesi), diterjemahkan oleh P. F.X.
Adisusanto, SJ, (Jakarta: Komisi
Kateketik KWI, 2010), hlm. 5-6.
[3]Felipe
Gomez, SJ., The Good Shepherd,
Cardinal Bea Institute, (Ateneo De Manila University, Quezon City, Philippines:
1997), hlm. 102-104.
[4]Mereka
inilah umat dan kepada merekalah Injil, Kabar Gembira Kerajaan, Kabar Gembira
pembebasan diwartakan {Lih. Yanuarius Seran, Pr. M.Hum., Pengembangan Komunitas Basis - Cara Baru Menjadi Gereja Dalam Rangka
Evangelisasi Baru, (Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 2007), hlm.42}.
[5]Stephen
B. Brevens & Roger P. Schroeder. Terus
Berubah-Tetap Setia, Dasar, Pola, Konteks Misi, (Judul asli: Theology of
Mission for Today), diterjemahkan oleh Yosef Maria Florisan, (Maumere:Ledalero,
2006), hlm. 608-611.
[6]Andar
Ismail. Selamat Melayani Tuhan, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1996), hlm. 3.
[7]Drs.
Philipus Tule, Lic., Agama-agama Kerabat
Dalam Semesta, Wilhelmus Djulei, Lic (Editor), (Ende: Nusa Indah, 1994),
hlm. 129-143.
[8]Suwita,
Pr., Seri Pancatugas Gereja Bidang:
Paguyuban, (Malang:Dioma, 2003),
hlm. 3-19.
[9]Ibid hlm. 1-2.
[10]Ibid hlm. 7.
[11]Ibid hlm. 8-9.
[12]Konferensi
Waligereja Indonesia. Ecclesia De
Eucharistia (Ekaristi dan Hubungannya dengan Gereja), Seri Dokumen Gerejawi
No. 67, Mgr. Anicetus B. Sinaga, OFM.Cap (Penerj.), (Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2005),
hlm. 30-43.
[13]Ibid, hlm. 426-429.
[14]Suwita,
Pr., Seri Pancatugas Gereja Bidang:
Kesaksian, (Malang: Dioma, 2003), hlm. 22-44.
Tambah pengetahuan. Inspiratif. trism pater
BalasHapustks infonya
BalasHapusmohon izin mengcopi.. terimakasih...
BalasHapusijin ambil materi min makasih
BalasHapusGBU
Terimakasih untuk materinya, Pater. Yaahowu
BalasHapusterimakasihh.
BalasHapusstp jaya....
Terima kasih Romo. Saat ini kita membutuhkan kwalitas perwartaan ke tiga yaitu Pewartaan yang penuh hormat dan dialogal
BalasHapusTerima kasih Romo, ijin copy dan share.
BalasHapusThis is how my friend Wesley Virgin's autobiography begins in this SHOCKING AND CONTROVERSIAL video.
BalasHapusWesley was in the army-and shortly after leaving-he discovered hidden, "MIND CONTROL" secrets that the CIA and others used to get whatever they want.
As it turns out, these are the EXACT same SECRETS many celebrities (notably those who "come out of nothing") and top business people used to become rich and successful.
You probably know how you utilize only 10% of your brain.
Mostly, that's because the majority of your BRAINPOWER is UNCONSCIOUS.
Maybe that conversation has even occurred INSIDE OF YOUR own head... as it did in my good friend Wesley Virgin's head 7 years back, while driving an unregistered, garbage bucket of a car without a license and with $3.20 on his bank card.
"I'm so frustrated with going through life paycheck to paycheck! When will I become successful?"
You've taken part in those questions, am I right?
Your success story is waiting to start. Go and take a leap of faith in YOURSELF.
WATCH WESLEY SPEAK NOW
Terima kasih stp dian mandala gunung sitoli keuskupan sibolga
BalasHapusJadi klo seorang pastur mendengarkan Pengakuan dosa dari umat itu masuk kedalam bidang pelayanan atau kesaksian?
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusMantap padre. Informasi sangat berguna
BalasHapus